Selasa, 06 Januari 2009

AL HABIB MUHAMMAD LUTHFI BIN YAHYA

AL HABIB MUHAMMAD LUTHFI BIN YAHYA








Al-Walid al-Habib
Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Ba’Alawy Pekalongan, Ketua Jam'iyyah Ahlut Tariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (JATMN), organisasi di bawah NU yang mengkoordinasi jemaah tarekat Mu'tabarah. Mengingat pentingnya isi dari nasehat ini, maka redaksi memuatnya untuk kaum muslimin sekalian. Namun karena beberapa nasehat yang disampaikan kepada tamu-tamu beliau ini terdapat beberapa poin yang berbeda maka redaksi akan memuatnya secara terpisah dengan judul yang terkait.

Seorang muslim agar mendapatkan keselamatan Insya ALLAH, di dalam agama, dunia dan akhirat haruslah memegang teguh beberapa prinsip ini.

Pegang teguh teladan salaf shalihin

Baik itu thariqah-nya, akhlaknya, amal salehnya. Pegang teguh dan kuat mantap, walaupun kamu sampai sulit dan kere (sangat miskin) tetaplah teguh memegang teladan Salaf Shalihin. Gigit kuat dengan gerahammu, jangan dilepas jika kamu ingin selamat dan mendapat ridho-Nya.

Jadikanlah keimanan sebagai Imam

Bukan akal yang menjadi ujung tombaknya. Hati-hati di akhir jaman ini, akan dan sudah banyak muncul paham dan orang-orang yang lebih mengedepankan akal-rasio-logika dibandingkan imannya. Seharusnya Iman menjadi imamnya, akal & logika menjadi makmumnya, mengikuti iman. Tinggalkan pendapat orang-orang yang mengedapankan akalnya dibanding imannya. Percuma dan sia-sia waktumu jika menanggapi orang-orang yang demikian, kamu akan rugi dunia akhirat. Karena bagaimana mungkin akal manusia bisa menerima seluruh kebesaran khazanah kerajaan Allah SWT, hanya keimanan yang dapat menerima kebesaran Allah SWT.

Ziarah shalihin

Baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup, dan kuatkan tali ikatan silaturahim. Berziarah (mengunjungi) kaum shalihin jangan hanya ketika ada maunya, kalau ada perlunya saja. Hal itu baik tidak terlarang, tetapi kurang kemanfaatannya untuk jangka panjang. Hanya untuk kebutuhan-manfaat sesaat belaka, sungguh sangat disayangkan. Tetapi alangkah baiknya kita berziarah sholihin itu karena mahabbah ilaa mahbub, kecintaan kepada yang dicintai. Kalau hal ini dijalin dengan baik maka ia akan mendapat limpahan madad (pertolongan), sirr asrar (rahasia) dan jaah (essence, intisari) dari ziarahnya. Dan sering silaturahmi itu menimbulkan kecintaan dan keridhoan Allah SWT kepada orang yang menjalin hubungan silaturahmi, sehingga rahmat dan berkah serta maghfirah Allah SWT terlimpah kepadanya. Jauh dari bala’, musibah, penyakit dan diberi kelancaran rezeki. Insya Allah.

Jangan suka membeda-bedakan

Ini penyakit yang timbul dan tumbuh di akhir jaman ini. Jangan beda-bedakan itu suku apa, kabilah apa, bangsa apa, partainya apa, thariqah-nya apa, madzhab-nya apa dan sebagainya. Itu urusan Allah SWT, kita ini manusia, hamba-Nya, makhluk ciptaan-Nya, jangan suka usil ikut campur urusannya Allah SWT. Makanya sekarang berbagai macam bala’, musibah bertubi-tubi datang. Karena ulah manusia itu sendiri. Yang suka sok tahu, sok jago, sok suci, sok pintar bukan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, malah ikut campur urusan Allah SWT. Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana lagi Maha Berkehendak, Allah SWT yang akan menghukumi, menentukan secara mutlak kelak di pengadilan Ilahi Yang Maha Adil bagi seluruh makhluk-Nya. Segala sesuatu misal pengadilan itu semua adalah bentuk ikhtiar manusia belaka di muka bumi ini secara syariat. Ketentuan yang mutlak benar dan salah adalah di tangan Allah SWT di hari kemudian. Keyakinan dan keimanan ini harus ditanam kuat dan kokoh dilubuk sanubari keimanan kita.

Jangan tinggal tiap hari membaca Al-Qur’an, shalawat kepada Rasulullah SAW, taat kepada guru/syaikh/mursyid dan birul walidain (berbakti kepada orangtua)

Jadikan hal ini semua awrad-mu. Jangan tinggal hal tersebut. Membaca Al-Qur’an walau satu ayat setiap harinya. Memperbanyak membaca shalawat kepada Baginda Nabi SAW jadikan hal ini semua awrad (wirid yang dilakukan istiqomah) bagi diri kita demi menggapai kebahagian dan keselamatan di dalam agama, dunia dan akhirat.

Cukup sudah lima hal ini kamu pegang erat-erat, Insya Allah, Taufik Hidayah dan Inayah Allah SWT melimpah dan turun kepadamu.

Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya-Manggung, Ceramah hingga Main Musik

Gedung itu tampak megah. Letaknya yang tak jauh dari jalan provinsi, di tengah kota Pekalongan (Jalan Dokter Wahidin), menjadikannya seolah landmark di kota Batik itu. “Kanzus Shalawat” namanya. Nampak satu persatu pria bersarung dan sebagian berpeci putih dan serban, keluar dari gedung itu menuju motor yang diparkir di depannya. Sebagian lainnya memilih menyeruput kopi di warung kaki lima.
Pengajian rutin malam Reboan memang baru saja usai. Acara yang dimulai ba’dal Isya itu diawali dengan pengajian kitab Ihya Ulumuddin kemudian pengajian umum dengan materi agama dalam konteks kekinian. Maka tak heran jika yang hadir bukan saja dari Pekalongan, tetapi juga luar daerah seperti Pemalang, Batang, Tegal dan Brebes.
Mereka bahkan rela duduk beralaskan koran di sepanjang jalan dr. Wahidin hanya untuk mendengarkan wejangan dari seorang ulama karismatik asal Pekalongan, tidak peduli hujan sekalipun. Meskipun acara belum usai, sebagian besar hadirin tak langsung pulang. Mereka memilih berebut salaman dengan Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, sosok panutan itu. Ketokohan Habib Luthfi membuat rumah besarnya yang terletak di belakang gedung Kanzus Shalawat itu tak pernah sepi oleh tamu, baik jamaah tetap maupun umum. Menunggu bisa bertemu Habib sampai antre berjam-jam tak menjadi masalah bagi mereka. Tujuan mereka pun beragam. Mulai sekadar silaturahim, minta doa agar hajatnya terkabul hingga doa kesembuhan lewat sebotol air mineral.
“Karena saking banyaknya tamu, jarang Abah (sebutan Habib Luthfi) mendoakan khusus. Biasanya berjamaah, sambil mengatakan insyaallah tujuan mereka datang ke sana dikabulkan,” ungkap Zakaria Anshor, kiai muda yang menjadi tangan kanan Habib.
Kediamannya di Pekalongan memang tak pernah sepi. Selain sekadar mertamu, kebanyakan mereka datang ke sana dalam rangka mengikuti majlis yang dipimpinnya, seperti tiap malam Rabu, Rabu pagi, Ahad pagi dan lainnya, khusunya di bulan Ramadhan. Puncaknya adalah ketika digelar peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Saat itu, puluhan ribu orang tumpek blek di sana. Saat itulah seluruh santri beliau seakan bereuni.
Habib Luthfi sendiri lahir di Pekalongan pada 1948. Bin Yahya bukan berarti ayahnya bernama Yahya. Bin Yahya di sini mengisyaratkan salah satu marga (fam) keturunan Arab yang berasal dari Hadramaut Yaman, keturunan Rasulullah SAW. Ayahnya bernama Habib Ali bin Hasyim bin Umar bin Thoha bin Hasan bin Thoha (Thoha pertama adalah penyusun “Ratib al-Kubro” dimakamkan di Ciledug Cirebon Jabar, sedang Thoha kedua di Penang Malaysia). Setelah memperoleh didikan langsung dari kedua orangtuanya, pada usia 12 tahun Luthfi kecil mulai mengembara mencari ilmu. Pada usia itu ia ikut pamannya (Pakde), Habib Muhammad di Indramayu Jabar. Sejak itu ia keluar masuk pesantren.
Tak lama nyantri di Bondokerep Cirebon, Yik Luthfi mendapatkan beasiswa belajar ke Hadramaut. Tiga tahun di sana, ia kembali ke tanah air, nyantri lagi ke sejumlah pesantren, yaitu Ponpes Kliwet Indramayu, Tegal (Kiai Said), Purwokerto (Kiai Muhammad Abdul Malik Bin Muhammad Ilyas Bin Ali). Beliau juga pernah berguru kepada seorang ulama besar asal Lasem Rembang, Kiai/Mbah Ma’shum.
Selanjutnya, pada usia remaja ia dinikahkan dengan seorang gadis yang masih tergolong kerabat (satu fam), yaitu Syarifah Salma binti Hasyim bin Yahya. Dari pernikahan itu lahir dua orang anak laki-laki dan tiga perempuan, yaitu Syarif Muhammad Bahauddin, Syarifah Zaenab, Syarifah Fathimah, Syarifah Ummi Hanik dan Syarif Husain.
Habib Luthfi memang dikenal dekat dengan semua kalangan. Meski secara nasab beliau ‘asli’ keturunan Nabi Muhammad, tak pernah sedikit pun ada rasa sombong, meremehkan orang lain, termasuk non Arab (‘ajam). Selain didikan keluarga, sejumlah kiai yang pernah menjadi gurunya turut andil besar dalam mencetak kepribadiannya.
“Abahnya, Habib Ali juga pernah nyantri pada Mbah Sholeh Darat (Semarang). Jadi dalam keluarga beliau tak ada lagi istilah Arab-non Arab. Seperti difirmankan Allah, yang penting kadar ketakwaannya. Hal ini pun ditanamkan Abah pada beberapa habaib yang lebih yunior,” kata Kiai Zakaria.
Dari sini tak mengherankan jika dalam kehidupan sehari-hari Abah selalu menggunakan bahasa Jawa, bukan Indonesia apalagi Arab. Baik kepada santri maupun tamu yang dikenalnya. “Abah itu sudah njawani (cenderung Jawa), bukan habib yang eksklusif. Semua orang dan kalangan merasa dekat dengan beliau, karena Abah tak suka penghormatan yang berlebihan. Berapa pun jumlah orang yang ingin bersalaman, dilayani. Beliua malah tidak suka pengawalan khusus. Beliau sangat egaliter, merakyat,” timpal salah seorang dekatnya.
Tamu Habib memang datang dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat pemerintah, anggota dewan, pengusaha, seniman, artis hingga rakyat jelata. Namun begitu beliau tak pernah membeda-bedakan. Dengan tekun Habib mendengarkan satu persatu permasalahannya untuk kemudian memberikan solusinya, sehingga mereka pun pulang dengan perasaan puas. Habib Luthfi memang seorang yang dikenal ‘gampangan’, tidak suka ruwet, apalagi neko-neko. Rumahnya 24 jam siap menerima tamu, dari orang biasa sampai pejabat. “Lha, pernah Bapak Kapolwil bertamu ke sini, malah diajak ikut rapat panitia mauled di luar. Terang saja panitianya yang kalang kabut. Tapi justru di situ nampak tidak ada perbedaan,” sambung Zakaria tertawa kecil.
Beliau pun tak segan-segan ikut mengatur hal-hal yang dinilainya belum beres, secara spontan. Misalnya mengatur barisan yang sulit diatur (untuk itu beliau rela turun dari panggung, meninggalkan para undangan dan tamu terhormat).
Ketika seluruh warga Pekalongan disibukkan dengan digelarnya Pekan Batik Internasional, pada saat acara seremonial pembukaan, di mana Wakil Presiden hadir, justru Habib Luthfi memilih pergi ke Surabaya, menjadi penceramah pada peringatan haul Sunan Ampel. “Bukan apa-apa. Undangan dari panitia haul Ampel sudah lama, jauh hari sebelum undangan Pekan Batik datang,” ujar Zakaria.
Bahkan beberapa saat lalu, beliau rela harus bolak-balik Pekalongan-Semarang, demi menghadiri undangan santrinya yang kebetulan bekas napi, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. “Jadi Abah sangat menjaga. Terlebih yang mengundang adalah mantan pentolan bromocorah, yang kemudian insaf dan minta diaku santri oleh Abah. Makanya Abah begitu memperhatikan. Sampai-sampai begitu masuk Jawa Tengah, beliau dikawal dari Polwil. Selain dalam rangka menyenangkan orang (idkhalus surus), itu juga menjaga nama baik sang santri di depan masyarakat setempat,” jelas Zakaria.
Untuk itu yang mengherankan –sekaligus membanggakan- adalah kondisi fisik Habib Luthfi yang selalu fit meski sebagian besar waktunya terpakai untuk pergi keluar kota, demi dakwah Islam, khususnya tarekat. “Abah fisiknya luar biasa, jarang sakit meski aktivitasnya cukup tinggi, padahal makan saja tidak teratur,” komentar Ketua PCNU Kota Pekalongan H. Abul Mafachir suatu ketika, sembari menjelaskan kekagumannya, “Habib itu betah duduk berjam-jam hanya untuk sekadar ngobrol dengan para tamunya. Malah kadang, tamunya itu tidak beliau kenal,” tambahnya.
Selama 40 tahun menjadi santri Habib, imbuhnya, hal yang patut ditiru adalah keikhlasannya. “Habib Luthfi tidak pernah membeda bedakan asal muasal santri. Sehingga ratusan tamu yang datang kediamannya setiap hari, selalu dilayani dengan sabar dan penuh kesungguhan. Kadang mereka harus menunggu berhari-hari jika Habib sedang berada di luar kota,” ujarnya.
Hinggi kini, tak sedikit jabatan dan kedudukan yang diembankan ke pundaknya. Tapi itu semua tak membuat Habib merasa capek, merasa berat apalagi merasa terbebani. Jabatan yang pernah dan sedang disandangnya adalah Ketua Umum MUI Kota Pekalongan, sekaligua Ketua Umum MUI Jawa Tengah. Beliau juga dipercaya menjadi penasihat utama KBIH Assalamah Pekalongan. Di samping seorang mursyid tarekat Syadzaliyah, beliau juga didaulat menjadi Mudir Aam dari Ahlit Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (salah satu Badan Otonom NU) selama dua periode, yaitu sejak 2000-2010 (Secara kebetulan, kedua Muktamar yang menghasilkan keputusan itu digelar di Pekalongan).
Selain itu, beliau membentuk PANUTAN (Paguyuban antar Umat Beragama Pekalongan), dan kemudian dipercaya menjadi ketuanya. Ini dilakukan melihat Pekalongan adalah satu daerah yang rawan konflik. Dikisahkan, saat terjadi aksi perusakan dan pembakaran rumah serta fasilitas lainnya miliki keturunan Cina di Pekalongan dua puluh tahun silam (tepatnya pada 20 Nopember 1995), semua kiai Pekalongan angkat tangan. Maklum saja, pemicunya adalah dirobek-robeknya Al-Qur’an oleh salah seorang keturunan Cina, yang kemudian diketahui bahwa orang itu mengalami gangguan jiwa.
Pada saat genting itulah, di saat semua tokoh kewalahan, bahkan tak mampu mengatasi keadaan, Habib Luthfi tampil dengan pernyataan singkatnya: “Saya tidak ridla kalau santri saya ikut-ikutan aksi perusakan itu.” Pada saat itu banyak kiai tersentak.”Gimana tidak kaget? Habib Luthfi membuat langkah yang melawan arus,” komentar Zakaria sambil membuka buku hariannya yang mengisahkan kejadian itu. Tapi nampaknya ungkapan beliau yang singkat itu sangat mujarab. Sejak itu, berangsur-angsur kondisi keamanan Kota Pekalongan kembali membaik.
Kalau kemudian Habib Luthfi dipercaya memegang banyak jabatan, itu karena dalam dirinya tertanam kepribadian sebagai muslim ideal. Selain memiliki jiwa kepimimpinan, beliau dikenal memiliki kapasitas keilmuan tinggi, termasuk ilmu pengetahuan umum Dikisahkan, suatu ketika beliau diminta memberi ceramah agama dalam acara berkaitan dengan dnia pertanian. Ternyata yang disampaikan bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu pertanian.
“Sampai orang dinas pertanian terkagum-kagum, bahkan lalu bertanya bagaimana caranya menyuburkan kembali tanah yang terlanjur kering,” kisah Zakaria. Maka, Habib pun menjelaskan solusinya, lengkap dengan referensi ilmiah dalm ilmu pertanian. Begitu juga bidang-bidang lainnya, seperti perikanan.
Dalam satu kesempatan beliau menandaskan, baginya jabatan merupakan amanah dan tidak bisa diminta-minta. Kalau dipercaya menduduki jabatan, di mana pun tempatnya, dirinya menyatakan siap. Tidak harus jadi ketua, sehingga kalau tidak jadi orang nomor satu, emoh menjabat.. Artinya, pengabdian dan perjuangan dapat dilakukan seseorang sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

1 komentar: